Aku merasa harus menuliskan review buku ini. Buku Max Havelaar karya Multatuli atau Eduard Douwes Dekker (1820-1887). Banyak alasannya, pertama nama Max Havelaar, Multatuli, Douwes Dekker sering sekali ada di pelajaran sejarah ketika sekolah dulu. Kedua, buku ini aku rasa sangat penting dan mendobrak di zamannya, serta masih relevan untuk masa sekarang. Dan ketiga, aku suka pelupa, jadi dengan membuat review akan bisa mengingatkan lagi ketika aku ingin membicarakan buku ini.
Buku yang ditulis tahun 1859 ini pada intinya bercerita tentang pengalaman Max Havelaar ketika bertugas menjadi asisten Residen Lebak, Banten selama 18 tahun. Jujur ketika membaca buku ini di bagian awal, aku sempat bingung dengan alur serta teknik penceritaannya, sedikit emosi, beberapa kalimat susah untuk dimengerti. Max Havelaar adalah tokoh sentral dalam buku ini dan sebenarnya merupakan penggambaran nyata dari Dowes Dekker sendiri. Awal mula buku menceritakan tentang seorang makelar kopi bernama Droogstoppel, yang bisa dikatakan sebagai stereotype Borjuis Belanda yang serakah, hanya mementingkan keuntungan dan sangat membenci sastra. Jujur aku emosi ketika membaca kalimat makelar kopi ini yang suka menjelekkan puisi, sastra dan para penulis sastra. Si Makelar kopi ini ketemu dengan tokoh bernama Sjalmaan (lelaki yang selalu memakai syal), teman sekolahnya dulu. Sjalmaan disini adalah Multatuli = Max Havelaar = Douwes Dekker sendiri. Dia minta tolong kepada Droogstoppel untuk menerbitkan catatan perjalanannya selama di Hindia Belanda menjadi sebuah buku. Tokoh lain yang muncul adalah Stern, pemuda Jerman yang di rekrut Sjalmaan untuk menuliskan kisahnya. Pada bagian ini inilah banyak diceritakan semua pengalaman Havelaar selama menjadi asisten Residen di Lebak, Banten.
Ada satu kalimat yang aku suka ketika Max Havelaar memberikan sambutan atas diangkatnya dia menjadi Asisten Residen. Sambutan itu dia sampaikan di depan para pejabat pribumi lokal dan pejabat Belanda lainnya. Saat itu Havelaar mengatakan bahwa dia sangat senang mendapat tugas di Lebak, Banten karena setelah dia liat daerah ini miskin, terbelakanag dibanding daerah tetangganya. Masyarakat hidup seperti tidak ada gairah, dan kelihatan sengsara. Senang karena dia akan punya banyak pekerjaan untuk memajukan daerah ini. Aku senang dengan tipe kata sambutan seperti ini.
Buku ini menceritakan bagaimana kisah Havelaar selama menjabat sebagai asisten Residen Lebak, Banten. Tentang sikap-sikapnya yang melawan kebijakan kolonial dan pejabat pribumi kepada masyarakat Lebak. Dan dari cerita itu kita bisa lihat bahwa budaya pemerasan, korupsi dan segala kebobrokan sistem sudah ada dari dulu, jadi jangan heran kalo sampai sekarang korupsi itu ada dan susah diberantas. Kejamnya kolonialisme Belanda juga diceritakan secara menarik lewat kisah romantisme yang dramatis dan tragis antara Saidjah dan Adinda. 2 orang yang berteman sejak kecil dan saling mencinta. Namun kekejaman kolonial membuat keluarga mereka masing-masing hancur. Kerbau kesayangan keluarga mereka dirampas, orangg tua mereka masuk penjara dan adik adik mereka disiksa. Saidjah pergi ke atavia untuk mencari pekerjaan dengan harapan mendapat uang yang banyak dan kembali ke desa untuk membeli kerbau dan menikahi Adinda. Namun apa yang didapat setelah kembali ke desa Adinda dan keluarganya meninggal karena disiksa. Saidjah menjadi gila. Tragis, bahkan banyak pendapat yang mengatakan kalau kisah Saidjah dan Adinda ini dapat disejajarkan dengan Romeo dan Julietnya Shakespeare.
Masih diceritakan oleh Stern, beberapa surat resmi juga dikirimkan Havelaar, yang ditujukan mulai dari kepada Residen Banten sampai kepada Gubernur Hindia Belanda. Semua surat itu bertujuan untuk memberitahukan tentang kekejaman kolonial Belanda dan pejabat pribumi kepada rakyat yang disertai oleh bukti-bukti kuat. Namun semuanya percuma, tidak digubris. Bahkan Gubernur Hindia Belanda memberikan balasan dan akan memindahkan tugas Havelaar untuk menjadi Asisten Residen di Ngawi. Dan ketika diberikan tawaran itu, Havelaar memilih untuk diminta diberhentikan. Sebuah sikap yang terhormat.
Bagian terakhir dari buku ini ditutup dengan cerita oleh Multatuli sendiri. Dimulai dengan kalimat,,,”ya Aku akan dibaca,oleh bangsawan,negarawan, para pelelang kopi, para Gubernur Jendral, mentri-mentri yang pensiun. Aku akan dibaca, aku bukan penulis yang baik dan aku memang sengaja membuat buku ini campur aduk, tidak beraturan dan ingin mengejar sensasi. Tapi justru itulah yang aku inginkan,,orang akan semakin penasaran dan ingin membaca bukuku”. Mungkin ini yang membuat aku merasa kesulitan menikmati buku Max Havelaar ini dibagian awal buku.
Buku ini ditutup dengan kalimat yang terasa seperti api, panas penuh emosi. Aku bisa membayangkan bagaimana Multatuli menulis bagian ini,,mungkin penuh dengan kemarahan.Aku kutip bagian terakhirnya :
“Buku ini adalah sebuah pendahuluan
Kekuatan dan ketajaman senjataku akan bertambah,sesuai dengan apa yang diperlukan
Semoga tidak diperlukan
Tidak ! ini akan diperlukan karena kepada Andalah buku ini saya persembahkan,wahai WILLIAM KETIGA, Raja, Adipati, Pangeran,,,lebih dari sekedar Pangeran, Adipati dan Raja…KAISAR dari kerajaan INSULIDE yang menakjubkan yang melingkari khatulistiwa bak untaian zamrud!!
Saya bertanya kepada ANDA,apakah memang kehendak KEKAISARAN Anda sehingga orang-orang seperti Havelaar harus diciprati lumpur oleh orang orang seperti Slijmering dan Droogstoppel; danlebih dari tiga puluh juta RAKYAT Anda nun jauh disana harus diperlakukan dengan buruk dan mengalami pemerasan atas nama ANDA?. Lihat penekanan yang ditandai dengan penulisan huruf kapital diatas. Multatuli benar-benar ingin pesannya sampai dan dibaca.
Demikianlah review buku yang hebat, dan bersejarah ini. Buku yang dibuat dengan teknik bercerita yang unik, rumit namun bisa dinikmati. Teknik bercerita yang menggunakan 3 orang pencerita, Droogstoppel, si Makelar kopi, Stern si Pemuda Jerman dan Multatuli. Yang mana sebenarnya semua buku ini adalah kisah dan teknik berceritanya Multatuli atau Douwes Dekker sendiri, jenius bukan?. Namun yang membuat buku ini hebat dan layak diapresisasi adalah karena buku ini membawa semangat perjuangan melawan kekejaman kolonialisme Belanda dan pejabat pribumi atas rakyat Indonesia. Dan tidak berlebihan kiranya kalau seorang Pramoedya Ananta Toer mengatakan kalau buku ini adalah “Kisah yang membunuh Kolonialisme”.
Categories
Archives
- December 2017
- November 2017
- October 2017
- September 2017
- August 2017
- June 2017
- December 2016
- January 2016
- December 2015
- November 2015
- October 2015
- September 2015
- March 2015
- February 2015
- October 2014
- September 2014
- May 2014
- March 2014
- February 2014
- January 2014
- September 2013
- July 2013
- May 2013
- November 2012
- October 2012
- August 2012
- January 2010
- December 2009
- August 2009
- April 2009
- March 2009
- January 2009
- November 2008
- October 2008
- September 2008
- August 2008
- July 2008
- June 2008
- May 2008
Tags
Advertisements